Koperasi Jaringan A2I Mengkritisi tentang RUU Perkoperasian

A2I, Jakarta – Gerakan Koperasi yang tergabung di jaringan Asosiasi Auliasoft Indonesia (A2I) memberikan sikap terkait dengan RUU perkoperasian yang akan masuk ke pembahasan di parlemen pada tanggal 26 Agustus 2019, mencermati dari beberapa pasal yang disajikan maka A2I memberikan sikap mendukung atas pengaturan Koperasi Syariah yang wajib dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah sebagaimana diatur dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 63, Pasal 66 sampai dengan Pasal 74 karena hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yakni Sila Pertama, Pasal 29 UUD 1945 serta berdasarkan fakta hukum bahwa saat ini sudah terbentuk dan berdiri ribuan Koperasi Syariah yang sudah legal berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Asosiasi Auliasoft Indonesia (A2I) juga menolak dan keberatan terhadap beberapa Pasal sebagai berikut :

  1. Pasal 10 ayat (1) yang mengatur jumlah minimal pendiri sebanyak 9 (sembilan) orang. Di samping penentuan jumlah 9 tidak memiliki logika umum, pengurangan jumlah pendiri minimal 20 orang dari aturan yang saat ini berlaku bisa dipahami bahwa pengurangan jumlah minimal pendiri koperasi lebih berorientasi pada pengumpulan modal bukan pada pengumpulan orang sebagaimana karakteristik dan prinsip dari koperasi. Sehingga dengan demikian sebaiknya jumlah minimal pendiri tetap sebagaimana ketentuan yang berlaku saat ini bahkan jumlahnya ditambah.
  2. Pasal 11 yang mana dalam muatan pengaturan dalam Pasal tersebut menunjukkan kental birokrasi bahwa secara teknis berpotensi untuk dipolitisasi.
  3. Pasal 15 ayat (2) yang mengatur hal yang tidak boleh dalam Anggaran Dasar karena mengebiri demoratisasi dalam Rapat Anggota. Di samping itu juga definisi dan maksud dari “pemberian manfaat pribadi” bernilai absurd (kabur) atau tidak jelas batasannya
  4. Pasal 77, 78, dan Pasal 80 dihapus atau disempurnakan karena mengurangi substansi demokratisasi dalam pengelolaan koperasi dalam forum Rapat Anggota. Juga ada yang kurang pas untuk diterapkan pada KSP atau KSPPS
  5. Pasal 130 sampai dengan Pasal 134 harus ditolak sepanjang mengatur bahwa Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) sebagai wadah tunggal dan satu-satu media penyalur aspirasi gerakan koperasi atau aspirasi dari masing-masing pelaku koperasi serta mewajibkan adanya iuran dari seluruh koperasi di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak warga Negara untuk bebas berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang 1945. Menurut kami wadah organisasi gerakan koperasi yang kokoh itu juga harus ditumbuhkan secara sukarela dan kekuatan swadaya dari anggotanya bukan dengan cara paksa.
  6. Pasal 135 yang mengatur tentang peran dan posisi dunia usaha memberi kesan seolah-olah keberadaan koperasi belum terposisikan secara sejajar. Hal ini bisa memberikan stigma yang kurang baik terhadap eksistensi koperasi yang sudah ada saat ini. Kami menganggap bahwa Undang-Undang koperasi itu seharusnya memberikan sebuah penghargaan tinggi terhadap badan hokum koperasi dan seharusnya diberikan kesejajaran seperti badan hokum BUMN/BUMD
  7. Pasal 139 dan Pasal 140 yang mengatur tentang tindak pidana larangan memberikan pelayanan simpanan maupun pembiayaan/pinjaman kepada yang bukan anggota koperasi perlu ditinjau ulang karena secara rasio legis bahwa tindakan seperti itu bukan masuk ‘ranah kejahatan” akan tetapi lebih kepada persoalan administrasi saja. Sehingga dengan demikian, seyogyanya sanksinya juga berupa sanksi administrasi. Apalagi sanksi yang akan diberlakukan secara langsung bisa dilakukan penahanan karena ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun.

Selain dari catatan diatas Asosiasi Auliasoft Indonesia juga menyuarakan agar Badan hukum koperasi ini mendapatkan keringanan dibandingkan badan usaha lainnya, serta untuk muatan hukum yang terdapat dalam pasal 61 ayat (1) perlu ada tambahan kata yang menunjukan pada “Ujroh, Basil atau lainnya” sebagai penunjuk pada utang yang dimiliki oleh Koperasi Syariah, serta Pasal 118 dan Pasal 135 mengatur tentang keberadaan dunia usaha, akan tetapi di ketentuan umum belum ada definisi yang jelas siapa yang dimaksud dengan dunia usaha itu sendiri.

Penulis : Achmad Mukhlisin (Ketua KSN Jatim / Anggota A2I)